WUXIA PIAN:
SEBUAH CITA RASA LOKAL DALAM GENRE
MARTIAL ARTS
PENDAHULUAN
Istilah ‘Martial arts’ biasanya mengacu pada seni bela diri Asia –judo, karate, kung fu, taekwondo, wushu, dan banyak lainnya. Meskipun secara sederhana bisa dipahami sebagai sebuah teknik berkelahi baik dengan senjata maupun tangan kosong (ini berarti termasuk tinju, anggar, panahan) istilah Martial arts nyaris selalu diasosiasikan dengan Asia. Dari pengertian di atas, genre film Martial arts kemudian banyak berfokus terhadap kemampuan fisik atau filosofi yang terkandung dalam gaya perkelahian tertentu, terutama ketika gaya perkelahian ini kemudian dipakai oleh beberapa figur tertentu pula. Dari sini lah kemudian ikon-ikon film Martial arts lahir. Mulai dari Bruce Lee, Jet Li, Jackie Chan, Steven Seagal, hingga Chuck Norris.
Genre film Martial arts sendiri muncul dari tradisi sinema Cina yang berkembang di tahun 1920an. Di bawa ke Hong Kong setelah Perang Dunia kedua dan mencapai puncaknya pada awal 1970an pada masa kolonialisme Inggris, genre ini kemudian berkembang menjadi sebuah genre transnasional pada tahun 1980an. Di Jepang, Korea, Thailand, India, dan Amerika Serikat genre film ini muncul dengan motif, karakteristik, dan koreografi yang terinspirasi oleh pendahulunya di Cina.
Di Cina sendiri, dikenal sebuah genre martial arts yang lebih spesifik dan biasa disebut sebagai Wuxia Pian atau genre Wuxia (‘swordplay’ – diterjemahkan sebagai cerita silat). Merupakan cikal bakal dari genre Martial arts, genre Wuxia dianggap sebagai sub dari genre fantasi yang diterjemahkan dengan cita rasa lokal. Lewat paparan berikut ini, penulis akan membahas mengenai genre film Martial arts dilihat dari asal muasalnya, yaitu dari tradisi lokal mana ia berakar, dan konteks lokalitas apa yang ia bawa.
WUXIA SEBAGAI SEBUAH GENRE
Jika ditarik lebih jauh, genre Wuxia yang berkembang dari tradisi literatur (novel silat) Cina ini, berakar dari tradisi chuanqi (prosa-romansa) pada masa dinasti Tang (618-907). Berkembang lebih jauh di masa dinasti Min dan Qing, hingga kemudian novel silat modern baru benar-benar muncul sebagai sebuah genre literature yang populer pada tahun 1920an. Seperti kebudayaan Barat mendefinisikan fiksi dengan keberadaan peri-peri dan makhluk-makhluk aneh dalam cerita, kebudayaan Cina mendefinisikan fiksi dalam versi mereka dalam genre Wuxia.
Kata Wuxia dalam bahasa Cina, terdiri dari dua karakter. Yang pertama adalah karakter Wu, yang digunakan untuk mendeskripsikan segala sesuatu yang berhubungan dengan Martial arts, perang, atau militer. Karakter kedua adalah Xia, yang mengacu pada para tokoh yang ditemukan dalam fiksi Wuxia dan juga sinonim untuk ksatria dan segala kode falsafah keksatriaan yang melingkupinya. Beberapa variasi terjemahan telah dilakukan atas karakter ini termasuk kata pahlawan, pendekar, pengelana, prajurit, atau ksatria.
Konsep paling umum yang digunakan untuk mendefinisikan Xia adalah ksatria-kelana. Xia sebagai seorang prajurit biasanya hanya muncul dalam beberapa peristiwa tertentu. Xia biasanya lebih mengacu pada seorang pendekar yang memiliki kemampuan silat tertentu yang kemudian akan digunakan dalam duel personal, bukannya pertarungan besar dalam perang.
Pada fiksi tradisional, Xia adalah seorang tokoh non-konformis yang berjuang demi keadilan. Biasanya ia merupakan seorang ahli silat yang tidak segan menggunakan kemampuannya demi mempertahankan apa yang ia percaya. Tipe Xia ini adalah versi yang sudah teridealisasi oleh konsep heroik yang kemudian muncul dalam fiksi-fiksi modern dan film Wuxia.
Sementara deskripsi yang tidak seromantis itu bisa dilihat dari fiksi-fiksi sejarah yang lebih tradisional. Dimana Xia muncul sebagai seorang pendekar yang lebih dogmatis. Ia memenangkan semua pertarungan dimana ia menunjukkan sikap kesetiaan, tidak peduli untuk tujuan baik maupun tidak. Seperti dalam film Once Upon a Time in China misalnya, semua tokoh pendekar silat yang menampilkan nilai-nilai kesetiaan dan kepatuhan terhadap tugas semuanya adalah Xia. Tidak ada pembedaan antara Xia yang altruistik maupun yang memiliki motif yang perlu dipertanyakan.
Dalam struktur masyarakat, Xia dianggap sebagai outsider. Ia tidak mengikuti aturan konvensional masyarakat karena kecenderungannya menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Kemampuan atas kekuatan kekerasan ini bukanlah sesuatu yang disetujui oleh masyarakat Cina. Gaya hidup pengelana dan eksistensi mereka yang seolah tidak memiliki garis keturunan dianggap sebagai sebuah penolakan terhadap konsep keluarga. Maka dalam masyarakat (terutama masyarakat elit) yang lebih menghargai pendidikan di atas kemampuan fisik, Xia dilihat sebagai sebuah representasi atas counter-culture. Sementara bagi masyarakat umum, Xia dianggap sebagai karakter mistik yang beroposisi dengan kelas tuan tanah yang opresif serta pegawai negeri yang korup dan karenanya ‘bisa dimintai bantuan’ dalam kesulitan-kesulitan tertentu.
Falsafah atau nilai-nilai yang mendasari konsep Xia sendiri berakar dari tradisi konfusian. Konsep heroik Xia muncul dari konsep junzhi dalam Konfusianisme yang berhubungan dengan korelasi antara etika dan perilaku. Ia menampilkan sisi lain dari tradisi masyarakat Cina, bukan sebagai aspek antagonistik (seperti anggapan umum terhadapnya), melainkan justru melengkapinya. Layaknya Yin terhadap Yang.
Karateristik dualitas ini terefleksikan dalam posisi antara Xia dan kaum terpelajar (scholar). Xia lebih dihargai pada masa penuh kekacauan (chaos), sementara kaum terpelajar akan lebih dibutuhkan untuk berkontribusi pada masa dimana stabilitas telah terpenuhi.
Karakterisasi Xia ini lah yang membedakan Wuxia dengan dengan genre martial art di Jepang atau Korea. Atribut Xia yang unik membedakannya dengan Samurai Bushido dalam tradisi fiksi Jepang, misalnya, meskipun memang mereka juga berbagi beberapa aspek filosofis dalam teknik berkelahi.
Sejak dari masa dinasti Tang, kecenderungan karateristik genre Wuxia dalam tradisi Chuanqi sudah mulai muncul lewat elemen-elemen tertentu yang kita temukan dalam genre Wuxia modern seperti kemampuan super-power atau tema pembalasan dendam. Pionir dari genre Wuxia sendiri muncul pada masa dinasti Ming dan Qing dimana novel seperti The Water Margin muncul dan memiliki muatan kritis terhadap pemerintahan. Baru pada tahun 1919, sebagai dampak dari gerakan 4 Mei, novel Wuxia menjadi populer karena dianggap menolak nilai-nilai konfusianis yang feodal. Sementara Xia sendiri menjadi symbol kebebasan personal, perlawanan terhadap tradisi konfusianis, dan penolakan terhadap sistem keluarga di Cina.
Sebagai bentuk protes, film-film dan literature Wuxia sempat dilarang edar pada masa dinasti Qing dan era Republik. Meskipun sempat menghadang pertumbuhan genre ini, pada masa Perang dunia II, sebuah fase baru muncul dalam genre Wuxia. Beberapa penulis Wuxia yang berpengaruh seperti Wang Dulu, menggabungkan Wuxia dengan melodrama, sementara Yao Minai menulis pula tentang rahasia atau konspirasi-konspirasi dalam mayarakat.
Pada periode ini, para penulis Wuxia dibedakan antara mahzab Utara dan selatan. Para penulis mahzab Utara terpusatkan di Beijing dan mengikuti pendekatan tradisional terhadap genre Wuxia yang fokus terhadap nilai-nilai tradisional, berdasarkan pada realisme, dan meletakkan kisah mereka pada sebuah konteks historis tertentu seperti The romance of Three Kingdoms, misalnya. Sementara mahzab Selatan berpusat di Shanghai dan mengembangkan gaya menulis yang lebih populer. Dipengaruhi oleh literatur Barat, fase kedua gerakan baru dalam penulisan genre Wuxia ini muncul di tahun 1950an dengan penulisnya yang terkenal, Jin Yong (penulis Fox Volant of the Snowy Mountain). Juga Liang Yusheng yang mengenalkan konsep kepahlawanan layaknya intelektualitas dan Gu Long yang melihat Xia sebagai sebuah praktek perilaku yang cenderung menyiksa diri dengan disiplin tertentu.
Film-film Wuxia yang tumbuh dari tradisi literature ini adalah film fantasi dengan para pendekar yang bisa terbang atau melayang serta berbagai konvensi teknik berkelahi dalam film-film Kung Fu. Film Wuxia pertama yang masuk dalam kategori ini adalah The Burning of Red Lotus Monastery (1928) yang berdasarkan The Legend of the Strange Hero karya penulis Xiang Kairen. Film ini dan juga sekuelnya, adalah prototype dari genre Wuxia. Dimana di dalamnya terdapat elemen-elemen Wuxia modern termasuk penggunaan special effect untuk mensimulasi ‘kekuatan dalam’ yang seolah keluar dari telapak tangan dan penggunaan wire-work untuk mensimulasi adegan terbang.
Tema yang anti konfusianis, penuh kekerasan dan elemen supernatural membuat film-film ini kemudian dicekal pada tahun 1930an dengan alasan content yang dianggap memberi pengaruh buruk terhadap para kaum muda di Cina. Ketika film-film ini kembali diproduksi pada tahun 1950an, para filmmakernya mengambil elemen stylistic-nya dari tradisi Opera Cina yang mana memasukkan pula promosi terhadap kode-kode moral yang orthodox.
Meskipun begitu, pada tahun 1960an, bersintesa dengan gerakan literature Wuxia baru dari mahzab Selatan, tradisi Wuxia kemudian mulai mengganti penokohan Xia yang satu dimensi dengan karakter yang jauh lebih kompleks layaknya tokoh-tokoh dalam film Wuxia yang muncul hingga saat ini.
Perkembangan dalam tradisi Wuxia di tahun 1960an, ditambah dengan teknik dan cita rasa penggarapan yang terkesan lebih artistik bisa kita lihat dari film-film Wuxia modern karya beberapa sutradara art-house kelahiran Cina. Wong Kar Wai misalnya, membuat film Ashes of Time (1994) yang justru cenderung mengkritik idealisasi Xia dengan menampilkan kecenderungan destruktif dari etos ‘kepahlawanan’ . Sementara Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000) karya Ang Lee mendapat sambutan di festival film Academy Award. Mengingatkan pada sambutan pertama penonton Barat pada genre film paling populer di Hong Kong ini pada festival Cannes pada tahun 1975 lewat film A Touch of Zen karya King Hu. Seperti Wong Kar Wai, film Wuxia Ang Lee mengadaptasi salah satu kisah karya Jiang Yon, penulis klasik novel Wuxia.
Sementara itu, rekor box office film Wuxia baik di Cina maupun di luar Cina masih dipegang oleh Hero (2002) karya sutradara Zhang Yimou. Jika Wong Kar Wai dan Ang Lee mencoba mengangkat genre ini dalam sebuah level estetika film tertentu, maka Hero dan film Wuxia Zhang Yimou selanjutnya, House of Flying Dagger (2004) merupakan salah satu contoh bagaimana genre ini dirayakan sebagai sebuah produk populer sekaligus estetik.
Berikut adalah beberapa karateristik konvensional yang menandai Wuxia sebagai sebuah genre:
-Tema-
Tema utama Wuxia adalah fantasi. Baik dalam novel maupun film, genre Wuxia terkarakterisasi oleh elemen fantasi. Para tokoh pendekar di dalam film atau novel ini berlatih teknik silat selama beberapa lama hingga mencapai keadaan dimana mereka menguasai kekuatan super sehingga mereka bisa melakukan: pertarungan dengan kekuatan super-cepat, menggunakan obyek senjata yang hampir mustahil seperti kuas, abaci, atau instrumen musik seperti kecapi, melawan gravitasi bumi sehingga bisa terbang atau berjalan di atas air, maupun ilmu totok tubuh yang bisa membunuh ataupun menyembuhkan seseorang.
Salah satu karateristik paling kuat dalam genre Wuxia adalah Jiang Hu (secara harfiah berarti ‘sungai dan danau’ – mengacu pada dunia persilatan di luar wilayah kerajaan). Di dunia Jiang Hu, hutang budi dan balas dendam adalah konsep yang sangat penting. Keseluruhan cerita dalam sebuah novel atau film Wuxia bisa jadi berputar pada masalah usaha pembalasan dendam sang protagonis yang menghabiskan waktu selama satu dekade.
Karakter dalam Jiang Hu sangat peduli pada masalah kepercayaan, kebenaran, dan kehormatan dimana demi hal itu mereka siap membunuh ataupun mempertaruhkan nyawa mereka sendiri. Kode moral ini kemudian diidealisasikan dalam level tertentu sehingga bisa dianggap tidak nyata dalam kehidupan yang sebenarnya. Cinta juga bisa menjadi motif yang membentu tema Wuxia seperti halnya dalam film House of Flying Dagger .
-Story dan Karakter-
Story dalam novel maupun film Wuxia biasanya dimulai dari kisah masa kecil protagonis (hampir selalu laki-laki) di Cina kuno yang biasanya mengalami penderitaan yang luar biasa atau situasi tragis seperti kehilangan seluruh anggota keluarga, misalnya. Karakter ini kemudian mengalami berbagai pengalaman dan cobaan yang luar biasa serta beberapa kebetulan yang menakjubkan. Kebetulan ini yang biasanya mempertemukan mereka dengan seorang guru yang akan mengajarkan mereka ilmu silat. Karakter ini kemudian akan mengalami berbagai kejadian yang makin mengukuhkan dan menguatkan kemampuan teknik silatnya hingga akhirnya ia terkenal di seluruh penjuru dunia persilatan.
Meskipun begitu keberadaan novel The Deer and The Cauldron karya Jin Yong menghadirkan alternatif lain yang mendobrak segala klise di atas dengan protagonisnya yang anti-Hero: pemuda bernama Wei Xiaobao yang malas, rakus, kasar, dan suka bermain di rumah bordil.
-Setting-
Tradisi Wuxia dimana cerita selalu mengambil tempat dan waktu di masa lalu diasumsikan sebagai usaha mempersuasi penonton. Dengan cara ini, penonton dibujuk untuk percaya bahwa dunia supernatural/super-power dimana sang karakter hidup pernah menjadi sebuah realita di suatu waktu yang lampau, tetapi setelah melewati rentang waktu yang lama kita kehilangan pengetahuan mengenainya.
Meskipun begitu, ada beberapa film Wuxia yang mengambil setting modern. Film seperti Kung Fu Soccer dan Kung Fu Hustle misalnya, meskipun dianggap lebih sebagai sebuah usaha parodi genre Wuxia yang tidak realistis.
GENRE WUXIA DAN IDENTITAS NASIONAL CINA
Pada perkembangannya -terutama sejak genre Martial arts dibawa ke Hong Kong dan mencapai puncaknya- genre film Wuxia kemudian tidak lagi bicara mengenai kisah silat dengan pendekar berpedang. Tahun 1970an muncul Bruce Lee dan kemudian, di tahun 1990an juga Jackie Chan serta Jet Li yang menampilkan Martial arts sebagai seni bela diri tangan kosong.
Setting dibawa ke situasi yang lebih modern dimana elemen-elemen super-power dari seorang Xia mulai hilang. Namun secara umum, ketiga karateristik utama dari genre Wuxia ini masih bekerja dengan baik meskipun dengan adanya berbagai modifikasi. Karateristik Wu lebih menampilkan adegan pertandingan yang ‘masuk akal’ tanpa efek tambahan, Xia kini bisa jadi seorang perantau di tanah asing, dan Jiang Hu tidak lagi merupakan hutan, gunung, dan danau. Dunia persilatan nan antah berantah dimana segala sesuatu bisa terjadi tersebut bisa muncul sebagai Shangai pada masa kependudukan Jepang atau Roma dimana rakyat Cina yang tinggal di sana menjadi kaum minoritas dan dibawah opresi preman setempat.
Di Hong Kong, genre film Martial arts mungkin adalah genre dimana ‘identitas nasional’ dikonstruksi dengan perlakuan paling mistis. Sek Kei bahkan pernah menuliskan: “ Certain forms specific to Chinese civilization are unique in world history. One such form is Chinese martial artistry.”
Dari situ kita bisa melihat adanya pandangan bagaimana Martial arts dipahami sebagai sebuah symbol kebudayaan Cina. Tipikal kisah film Martial arts secara umum akan memperlihatkan bagaimana tokoh hero yang seorang Cina melawan antagonis yang non-Cina atau sesama orang Cina yang memiliki sistem nilai-nilai yang tidak sesuai (dan karenanya dianggap sebagai pengkhianat). Beberapa film Martial arts Jet Li dimana ia memainkan karakter Wong Fei Hung yang terkenal memperlihatkan kecenderungan ini. Konsekuensinya, genre Martial arts dalam sinema Hong Kong kemudian menjadi sebuah situs untuk menampilkan semangat nasionalistik, seproblematik apapun definisi konsep nasionalisme tersebut. Dan hasilnya, adalah pemahaman umum adanya sebuah usaha pengkombinasian ‘identitas nasional’ rakyat Cina dengan kebrutalan serta tindak kekerasan.
Meskipun begitu, usaha pengkombinasian identitas ‘ke-Cina-an’ dengan Martial arts bukannya sama sekali tanpa komplikasi ataupun kontradiksi. Mengasosiasikan sebuah identitas nasional dengan perkelahian secara otomatis mengindikasikan posisi subyek dalam sebuah istilah militer. Meskipun begitu, efek umum dari beberapa film Martial arts klasik Hong Kong justru mengkongkretkan identitas rakyat Cina yang mana paling tepat diekspresikan lewat pencapaian dari sebuah tindak kekerasan yang dipotret sebagai sesuatu yang positif. Sehingga kemudian hal ini justru menaturalisasikan kekerasan sebagai sebuah proses legitimasi nasionalisme.
Sebagai contoh, film-film Bruce Lee seperti Fist of Fury (1972), Enter the Dragon (1973), dan Return of the Dragon (1973) menggambarkan dirinya sebagai tokoh protagonis yang bekerja di luar negeri atau hidup dalam sebuah situasi dimana kekuatan asing mendominasi. Seperti juga dalam The Chinese Connection (1972) yang menggambarkan Shanghai pada masa kependudukan Jepang. Film-film seperti ini kemudian menempatkan tindak bela diri yang dia lakukan dalam sebuah konteks nasional yang spesifik dan karenanya memotretnya pula sebagai sebuah penekanan terhadap identitas ‘ke-Cina-an’ yang teropresi.
KESIMPULAN
Dari paparan di atas kita bisa mengambil beberapa kesimpulan. Yang pertama, bahwa meskipun genre Martial arts telah menjadi sebuah genre yang transnasional, genre ini terkonstruksi oleh dua karateristik utama. Karateristik pertama berakar dari tradisi awal genre ini, yaitu Wu, Xia, dan Jiang Hu (baik dalam bentuk klasiknya maupun yang sudah dimodifikasi). Karateristik kedua adalah cita rasa lokal yang diterjemahkan ke dalam film sesuai budaya setempat dimana ia dibuat. Jika Cina mengenal Wuxia Pian, maka di Jepang kita mengenal Jidai Geki, misalnya.
Kesimpulan kedua, sebagai sebuah genre yang populer, Wuxia Pian merefleksikan pula nilai-nilai yang hidup dalam rentang waktu ratusan tahun dalam peradaban masyarakat Cina. Semacam kearifan lokal yang hidup dalam mitos-mitos setempat, yang kemudian menjelma menjadi fantasi yang diwujudkan dalam bentuk prosa, novel hingga film. Dari masalah lokalitas ini, genre Martial arts kemudian dianggap merepresentasikan ‘identitas nasional’ sinema Cina. Dengan munculnya pemahaman bahwa Martial arts (dan karenanya, termasuk genre Martial arts) merupakan bagian dari kebudayaan Cina dan karenanya merepresentasikan pula ‘identitas nasional’ rakyat Cina, termasuk sinema Cina.
Kecenderungan ini bisa kita lihat dari begitu populernya genre film ini di kalangan penonton Cina sendiri. Cina memproduksi lebih banyak film bergenre Martial arts dibandingkan industri perfilman di tempat lain manapun. Salah satu studio besar di Hong Kong seperti Shaw Brothers misalnya, terkenal di tahun 1960an karena produksi film-film Wuxia-nya. Beberapa ikon sinema terkenal dari Cina seperti Bruce Lee, Jackie Chan, dan Jet Li juga muncul dari film-film bergenre Martial arts. Sehingga sulit rasanya bicara mengenai industri perfilman Cina tanpa membicarakan pula mengenai genre film Martial arts.
Sebagai sebuah genre, kelebihan genre film Martial arts dalam menyediakan cukup ruang untuk menampilkan karateristik lokal membuatnya mudah beradaptasi di setiap budaya setempat. Di Jepang ia menjelma menjadi film-film seperti Seven Samurai (1954). Sementara di Amerika film-film Martial arts seperti Under Siege (1992) melahirkan Steven Seagal sebagai salah satu ikon Martial arts Hollywood. Seperti halnya Chuck Norris dan Jean-Claude Van Damme.
Lokalitas, adalah konteks awal yang mengkonstruksi keberadaan genre Martial Arts. Dari sebuah sebuah produk lokal menjadi produk transnasional. Dari sebuah mitos lokal menjadi bagian dari identitas nasional. Seproblematik apapun definisi nasionalisme dalam sinema ini, paling tidak di satu sisi genre film Martial arts telah menyediakan sebuah pintu masuk dalam memahami sinema Cina.
Leave a comment